Sabtu, 15 Februari 2020

(Resume Kajian) Menuju Ketawadhuan #2 -Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri

11.08 0 Comments
Kajian Kitab : Tadzkiratus Saami Wal Mutakallim Fii Adabil’Alim Wal Muta’alim
Masjid Nurul Iman – Blok M Square
Oleh : Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri

Bismillah, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Imam Syafi’i rahimahullahu ta’ala mengatakan:
“Tidak ada seorang pun yang menuntut ilmu hanya bermodalkan kekayaan dia, kekuasaan dia, dan kemuliaan jiwanya, gengsinya, lalu dia sukses dalam dunia ilmu. Namun, orang yang menuntut ilmu dengan menghinakan dirinya, lalu dengan kesempitan hidup, lalu dengan berkhidmat kepada ilmu dan ahli ilmu, dan tawadhu (kerendahan hati), maka dia yang akan sukses”

Dunia ilmu adalah dunia kerendahan, dunia ketawadhuan.
Imam al-Ashma’i rahimahullahu ta’ala mengatakan:
“Barangsiapa yang tidak tahan untuk menghinakan dirinya didunia ilmu, merendahkan hatinya di dunia ilmu, walaupun sejenak. Maka, silahkan menikmati hinanya kebodohan selama-lamanya”

Jadi, jika kita tidak mau sabar untuk merasa diri kecil, merasa diri kerdil dihadapan ilmu atau dihadapan ahli ilmu sebentar saja, maka silahkan menikmati pahitnya atau hinanya kebodohan selama-lamanya.

Ahli ilmu ahli ilmu kita yang kita lihat mereka dimuliakan di dunia, dihormati oleh orang, dimuliakan oleh murid-muridnya itu bisa dikatakan semua pernah merasakan hinanya belajar. Itulah sunatullah yang harus dijalani. Tawadhu adalah sebuah keharusan didunia ilmu.

Imam Abdulah bin Mu’taz rahimahullahu ta’ala mengatakan:
“Orang yang tawadhu ketika belajar, ilmu merekalah yang paling banyak”

Lalu bagaimana cara agar kita mendapatkan ketawadhuan dan ilmu kita melahirkan kerendahan


Mengetahui bahwa kunci kesuksesan didunia ilmu salah satunya adalah dengan selalu berusaha untuk tetap tawadhu (baik tawadhu kepada Allah maupun tawadhu kepada manusia)

Dengan meyakini kemuliaan, ketinggian, dan keutamaan itu justru ada pada ketawadhuan. Sebagaimana  Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu karena Allah, kecuali Allah akan angkat derajatnya”

Blank spot kita, ketika kita melakukan sebuah kesombongan, kita berfikir bahwa dengan sombonglah diri kita akan mulia, dengan sombonglah diri kita akan dianggap, dengan sombonglah diri kita akan diakui. Padahal itu keliru, justru dengan tawadhu kita akan diangkat oleh Allah. Dan sebaliknya kesombonganlah yang akan menghempaskan kita.

Kesombongan, meremehkan orang, merendahkan orang akan menjatuhkan diri kita, menolak kebenaran akan mencoreng diri kita, dan dengan kita menerima kebenaran justru akan terus mengangkat derajat kita.

Allah berfirman dalam Al-quran :
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan dia tidaklah berbicara dari dorongan hawa nafsunya, akan tetapi ucapannya tiada lain adalah wahyu yang disampaikan kepadanya.” 
(QS. An Najm: 3-4).

Salah satu yang diucapkan dan disabdakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah “Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu karena Allah, kecuali Allah akan angkat derajatnya” ini sabda nabi oleh karena itu berarti ini wahyu dari Allah. Dan wahyu tidak pernah salah.

Meyakini bahwa kemuliaan, ketinggian itu ada pada ketawadhuan bukan pada kesombongan dan keangkuhan.

Bahwa tawadhu adalah karakter yang tidak bisa dipisahkan dengan generasi terbaik

Kalau kita ingin sukses disebuah bidang, maka belajarlah  dari yang terbaik. Karena yang terbaik akan memberikan hal yang tidak pernah kita dapatkan dari pihak-pihak lain. Dan ketika kita bicara agama, yang terbaik adalah para sahabat, lalu tabi’in, lalu tabi’ut tabi’in, sebagaimana Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم
“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3651, dan Muslim, no. 2533)

Dan mereka punya karakter yang tidak terpisahkan dari diri-diri mereka, yaitu tawadhu

Allah berfirman dalam Al-quran :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu.”
(QS.Asy-Syuara: 215)

Perintah tawadhu ini benar-benar diamalkan dan dipraktikan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah meremehkan orang, beliau tidak pernah merendahkan orang, dan beliau selalu menerima kebenaran, beliau selalu bersikap tidak ingin menonjolkan diri, tidak ingin meninggikan diri.

Dalam hadits yang dikeluarkan Imam Abu Daud, dari Abu Dzar dan dari Abu Hurairah sahabat yang mulia ini menyatakan:
“Nabi  Shalallahi ‘alaihi wa sallam jika duduk dengan sahabatnya dalam sebuah majelis, lalu datang orang asing (orang yang belum pernah bertemu Rasulullah) yang ingin bertemu dengan beliau pada saat itu, orang tersebut sulit menemukan yang mana Rasulullah, sampai orang asing tersebut bertanya yang mana Rasulullah kepada orang-orang sekitar. Karena kejadian tersebut, maka akhirnya kami para sahabat, meminta kepada Rasulullah agar kami dapat membuatkan tempat duduk khusus untuk beliau, sehingga jika datang orang asing, ia bisa lebih mudah tau keberadaan Rasulullah,”

Penampilan dan sikap Rasulullah, beliau posisikan sama dengan yang lain. Itulah bentuk kerendahan Rasulullah.

Dalam contoh yang lain Hadits Riwayat Imam Ahmad, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai manusia, kalian harus bertakwa kepada Allah dan jangan sampai syaithan menggoda kalian. Dan aku adalah Muhammad anaknya Abdullah, aku adalah hamba Allah dan Rasul Allah. Aku tidak menyukai jika kalian mengangkat diriku diatas kedudukan yang Allah berikan kepada diriku”

Itulah ketawadhuan Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga kita ketahui bersama bahwa bagaimana Nabi kembali kepada kebenaran dan tidak pernah menolak kebenaran. Bahkan, ketika Allah Subhanahu wa ta’ala meluruskan sikap beliau yang dirasa kurang tepat, sikap beliau menerima teguran tersebut.

Kalau kita mengaku mengikuti sunnah Nabi, ini adalah salah satu sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan ini salah satu hal-hal yang menjadi pondasi sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah berfirman dalam Al-quran:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Qs. al-Hujurat: 1)

Kisah Tawadhu Sahabat

Tawadhu tidak bisa dipisahkan dengan sahabat, dan sahabat tidak bisa dipisahkan dengan sikap tawadhu. Bahkan, hal ini nampak gamblang dan diakui oleh kawan maupun lawan. Artinya, lawan-lawan dan musuh-musuh para sahabat semua mengerti, semua tau dan semua mengakui bahwa sahabat Nabi adalah manusia-manusia yang tawadhu.

Hadits Riwayat Bukhari dikisahkan:

Abu sufyan berbicara dengan Heraclius (abu sufyan pada saat itu belum masuk kedalam agama islam). Lalu ada salah satu pertanyaan dari Heraclius untuk Abu Sufyan “Saya ingin bertanya kepada engkau wahai abu sufyan, pengikut Rasulullah itu Ashraf-nya manusia atau Dhuafa-nya manusia?” Lalu abu sufyan mengatakan “Pengikutnya adalah orang-orang Dhuafa dari kita” , Heraclius menjawab “Dan itulah karakter pengikutnya para Nabi”.

Makna Ashraf dan Dhuafa yang dikedepankan oleh Al-Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Ashraf bukan diartikan para tokoh atau orang kaya tapi diartikan sebagai ahli takabur atau orang-orang yang sombong. Sehingga Dhuafa bukan diartikan orang-orang miskin, tapi diartikan sebagai orang-orang yang tawadhu. Sehingga, berangkat dari pandangan ini, Abu Bakar, Umar dan Ustman tidak masuk ke kategori Al-Ashraf, karena mereka tawadhu dan rendah hati.

Oleh karena itu, Abu Sufyan yang pada detik itu musuh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat (sekilas info bahwa Abu Sufyan adalah pemimpin pasukan Quraish ketika menyerang kota madinah diperang uhud) mengakui bahwa pengikut Nabi Muhammad bukan orang-orang sombong, bukan orang-orang yang suka menolak nasehat, bukan orang-orang yang suka menolak ayat, bukan orang-orang yang suka menolak hadits, bukan orang-orang yang suka meremehkan manusia, bukan orang-orang yang suka menjatuhkan manusia, bukan orang-orang yang suka mengkerdilkan dan menghina manusia.

Seseorang yang memimpin pasukan musrik Quraish yang menyerang Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat diperang Uhud. Beliau dengan jujur menyampaikan testimoni bahwa pengikut Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bukan orang-orang sombong.

Al-Imam Ibnu Jauzi pernah membawakan riwayat bahwa Abu Bakar As-Sidiq Radhiallahu ‘anhu, beliau sering membantu memerah susu kambing disebuah kampung sebelum beliau naik sebagai Khalifah. Lalu saat beliau di bai’at menjadi Khalifah ada seorang wanita dikampung tersebut berkata “Sekarang Abu Bakar tidak mungkin lagi mau memerah susu dari kambing-kambing kita”. Dan ucapan wanita itu didengar oleh Abu Bakar As-Sidiq Radhiallahuanhu, lalu beliau berkata “Saya akan tetap memerah susu dari kambing-kambing kalian. Dan saya berharap agar Allah tidak merubah apa yang sudah saya lakukan selama ini”.

Kalau kisah diatas  adalah tentang Abu Bakar As-Sidiq lalu bagaimana dengan Umar Bin Khattab ?

Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika membawa tempat air. Pada saat itu Urwah bin Zubair berkata kepad beliau “Wahai amirul mu’minin, engkau tidak cocok membawa barang seperti itu”. Lalu Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu  mengatakan “Tadi datang beberapa utusan, dan ketika utusan-utusan itu datang kepadaku semua apa yang aku katakan kepada mereka, mereka selalu siap dan taat. Lalu masuklah virus kesombongan pada diriku. Maka aku ingin memecahkan dan menghilangkan kesombongan itu dengan cara seperti ini”
Intinya adalah melakukan sebuah hal, yang apabila dilakukan sesuatu tersebut anda merasa bukan siapa-siapa. Pentingnya terapi ketawadhuan, keluar dari zona aman dari linngkungan yang mengangkat diri kita yang membuat hati kita sakit, begitu hati kita sakit kita sombong.

Terapi ini dilakukan juga oleh Abdullah bin Salam, yang memikul kayu bakar jika ke pasar. Lalu ada yang bertanya kepada beliau “Wahai Abdullah bin Salam, kenapa engkau membawa-bawa kayu bakar? Allah sudah memberikan berbagai macam kenikmatan sehingga engkau tidak perlu kesulitan membawa kayu bakar itu jike pergi ke pasar.” Dan Abdullah bin Salam mejawab “Saya melakukan ini untuk menghilangkan kesombongan.” Karena aku mendengar Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji debu”
 (HR. Muslim) sebagaimana kisah ini termaktub dalam Kitab az-Zuhd karya Imam Ahmad.

Orang tawadhu berani mengatakan kemarin saya keliru, minggu lalu saya keliru, bulan lalu itu kesalahan saya. Adapun cari alasan itu bukan orang-orang tawadhu. Dan inilah yang menyebabkan musuh seperti Abu Sufyan pada saat itu, mengatakan bahwa “Walaupun saya berperang dengan mereka, walaupun saya tidak suka dengan mereka, tapi pengikut Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mereka bukanlah orang-orang Sombong”
Lalu pertanyaanya, Apakah kita bisa juga menampilkan profil itu dihadapan orang yang tidak suka dengan kita jika mereka berkata jujur?


Source : Spotify Menuju Ketawadhuan #2
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ditulis
Ayu Karmasiwi
Tangerang Selatan, 16 Februari 2020

Rabu, 12 Februari 2020

Datang Dalam Keadaan Asing

09.47 0 Comments


Muqadimmah Kajian : Menuju Ketawadhuan #2
Masjid Nurul Iman – Blok M Square
Oleh : Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri

Bismillah, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Untuk bisa sukses kedepan di dunia dan diakhirat, kita harus punya pola yang berbeda dengan mainstream masyarakat. Allah berfirman dalam Qs : Al-a’nam ayat 116

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
Ketika mayoritas mengisi waktu dengan hal-hal yang sangat duniawi atau sebagian maksiat, maka isilah waktu dengan ketaatan. Ketika banyak orang tenggelam didalam kesyirikan, maka bertauhidlah kepada Allah. Ketika mayoritas atau banyak orang tidak menghargai ilmu, jadilah pribadi yang menghargai ilmu.
Salah satu periode peradaban, dunia itu dikuasai oleh minoritas bukan mayoritas. Mayoritas menjadi objek, subjek-subjeknya adalah minoritas. Oleh sebab itu jangan gampang terpengaruh dengan trend yang ada ditengah-tengah kita.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang asing” (HR. Muslim no. 145).
Ketika kita menentukan sikap untuk belajar di primetime nya hiburan disetiap pekan, primetime nya kesenangan dunia disetiap pekan, maka bersyukurlah kepada Allah Subhanahu Wa Taa’la dan jangan lemah, jangan down, jangan goyah ketika banyak diantara kita di goda oleh banyak pihak untuk meninggalkan kajian, untuk meninggalkan jalan Allah. Karena sekali lagi Allah berfirman dalam Qs : Al-a’nam ayat 116

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
Bersyukurlah kepada Allah, karena kita disuguhkan oleh Allah kunci suksesnya kehidupan disaat masih muda. Kunci sukses hidup kata para ulama dalam Kitab Mu’jamul Udhaba kunci sukses ada 4 : (ilmu, adab, iffah / kehormatan, amanah) kalau kita punya 4 perkara ini kita akan sukses dunia dan akhirat.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ditulis
Ayu Karmasiwi
Tangerang Selatan, 13 Februari 2020


Kamis, 06 Februari 2020

(Resume Kajian) Menuju Ketawadhuan - Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri

10.33 0 Comments

Kajian Kitab : Tadzkiratus Saami Wal Mutakallim Fii Adabil’Alim Wal Muta’alim
Masjid Nurul Iman – Blok M Square
Oleh : Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri

Bismillah, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Tawadhu secara bahasa adalah kerendahan atau kehinaan
Tawadhu secara istilah menurut Fudhail Bin Iyadh Rahimahullahu Ta’ala :
“Tunduk kepada kebenaran, mengikuti kebenaran, dan menerima kebenaran tersebut dari siapapun”

Dan ini adalah tawadhu kepada Allah Subhanahu Wataa’la, tawadhu kepada Allah di prioritaskan di banding tawadhu dihadapan makhluk, sehingga kita tidak mendengar lagi kesalahpahaman tentang tawadhu yang selama ini kita pahami.
Ketika seseorang sudah dikatakan tawadhu, itu satu paket, dia harus tawadhu kepada Allah, dia harus menerima kebenaran dan mengikuti kebenaran.

Adapun, tawadhu dihadapan manusia menurut Imam Hasan Al-Basri Rahimahullahu Ta’ala:
قال الحسن رحمه الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً .
 “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

Al-Imam Abdurahman bin Mahdi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan:
“Apabila seseorang bertemu dengan orang yang lebih alim dari dia, maka dia merasa inilah hari Ghanimmah-nya, dan kalau ia bertemu dengan penuntut ilmu yang selevel dengannya, maka ia akan saling belajar satu dengan yang lain. Dan kalau ia bertemu dengan penuntut ilmu yang levelnya dibawah ia, maka ia akan membantu mengajarkan dan bersikap tawadhu”
Didalam dunia ilmu itu sendiri ada ego, ada pemicu yang membuat kita merasa tinggi kalau kita tidak sadar dan cover dari  awal, makanya ulama kita mengatakan  “Dalam ilmu pun ada keangkuhan sebagaimana dalam dunia harta ada keangkuhan. Dan ilmu, dengan keangkuhannya tidak aka ada manfaatnya sama sekali”

Kenapa demikian? Karena banyak yang ditawarkan dalam dunia ilmu, bagaimana tidak ? orang akan tinggi derajatnya, jangankan di akhirat, di dunia saja ketika seorang punya banyak ilmu dia akan di hormati, dia akan dikagumi, orang akan memandang  dengan pandangan memuliakan, penghormatan, lalu di nomor satukan dan lain-lain. Itu yang perlu kita waspadai, Jangan sampai semakin belajar justru yang diasah keangkuhannya, kesombongannya, akhirnya meremehkan yang baru ngaji, yang baru dateng, kasih pandangan nyinyir ke seseorang yang dateng dengan busana yang belum ideal, merasa diri lebih baik, merasa diri lebih senior.

Lalu, kalau kita mendengar nama Qorun yang terbesit dibenak kita apa?
Qorun itu orang kaya,sombong dan dihancurkan oleh Allah? Benar, tapi Ada keterangan yang lebih menarik yang disampaikan oleh Al Imam Ibnu Athiyyah Rahimahullahu Ta’ala:
“Qorun itu dengan ijma’ adalah seseorang dari bani isroil, sebelumnya dia orang yang beriman dengan Nabi Musa ‘alaihis salam, dan hafal kitab Taurat, dan Qorun adalah salah satu pembaca kitab Taurat terbaik diantara manusia, dan dulunya Qorun tinggal bersama-sama dengan Nabi Musa ‘alaihis salam dan diantara hamba-hamba yang beriman. Lalu tumbuh rasa ujub didalam dirinya, maka dia melampaui batas dan menyombongkan diri diantara kaumnya”

Kisah ini difirmankan oleh Allah dalam Al-Quran:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِنْدِي ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِم


Qorun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.
(Qs. Al-Qasas : 78)

Ini menunjukkan bahwa ilmu itu punya ego, ada keangkuhan disana bagi orang-orang yang keliru dalam menyikapinya dan tidak melakukan tindakan preventif pada saat memasuki dunia ilmu.

Lalu bagaimana cara agar kita mendapatkan ketawadhuan dan ilmu kita melahirkan kerendahan ?
Mengetahui bahwa kunci kesuksesan didunia ilmu salah satunya adalah dengan selalu berusaha untuk tetap tawadhu (baik tawadhu kepada Allah maupun tawadhu kepada manusia)

Imam Syafi’i rahimahullahu ta’ala mengatakan:
“Tidak ada seorang pun yang menuntut ilmu hanya bermodalkan kekayaan dia, kekuasaan dia, dan kemuliaan jiwanya, gengsinya, lalu dia sukses dalam dunia ilmu, Namun, orang yang menuntut ilmu degan menghinakan dirinya, lalu dengan kesempitan hidup, lalu dengan berkhidmat kepada ilmu dan ahli ilmu, dan tawadhu (kerendahan hati), maka dia yang akan sukses”

Imam Qatadah rahimahullahu ta’ala mengatakan:
“Barangsiapa yang diberikan harta, diberikan ketampanan atau kecantikan, diberikan pakaian yang baik, diberikan ilmu, lalu dia tidak tawadhu (merendah) maka yang ia miliki akan menjadi boomerang pada hari kiamat”

Kunci sukses dunia ilmu bukan hanya tentang kecerdasan, bukan hanya tentang hafalan, bukan hanya tentang retorika, tapi kunci sukses dunia ilmu adalah ketawadhuan.
Bahkan, termasuk pada saat para ulama membantah yang mereka yakini sebuah kekeliruan, mereka sarat akan nilai-nilai ketawadhuan.

Sebagai contoh Al-Imam Syihabuddin ar-Ramli rahimahullahu ta’ala dalam kitab Faidhul Qadhir, dalam bantahan tersebut beliau mengatakan:
“dan apa yang saya sampaikan itu bukan karena benci atau tidak suka dengan beliau, dan ingin menyerang beliau, namun saya bantah beliau hanya agar orang-orang awam tidak mengikuti pandangan beliau tersebut.  Dan tidak menjadikan pandangannya tersebut yang menyelisihi pandangan 4 imam mahdzab sebagai rujukan. Dan ini, bersamaan dengan keyakinan saya tentang kedudukan ketinggian beliau, dan saya meyakini luasnya wawasan beliau, dan pondasinya kokoh, dan kemampuannya dalam ilmu-ilmu syariat dan ilmu-ilmu alat dalam”
Tawadhu walaupun dalam kotak bantahan, kalau salah bilang salah, tapi tidak keluar dari ranah objektivitas dan disuguhan dengan bijak. Ini kunci sukses dunia ilmu.

Para ulama ketika membantah mereka berusaha se-objektivitas mungkin dalam rangka menolong, semangat membantah itu diantaranya pertolongan. Atmosfer yang dibangun bukan narasi kesombongan tapi pertolongan. Tunjukan bahwa anda adalah penuntut ilmu sejati yang senantiasa menjunjung tinggi ke-tawadhuan.

Meyakini bahawa kemuliaan ketinggian itu ada pada ketawadhuan bukan pada kesombongan dan keangkuhan.


Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588).

Kalau anda ingin tinggi, ingin mulia, mulialah dengan cara yang berkelas, mulailah dengan cara yang elegan. Dan yang berkelas adalah tawadhu dan hanya karena Allah. Tawadhu adalah ibadah-ibadah terbaik. 

Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata:
“Sesungguhnya kalian sering lalai terhadap sebaik-baik ibadah yaitu tawadhu’.
Kalau ingin mulia di dunia maupun diakhirat, mainkan ketwadhuan bukan mainkan kesombongan.
Ibrohim bin Syaibah rohimahullahu ta’ala mengatakan:
“Kemuliaan itu ada pada ketawadhuan” 
(Dalam Kitab Madarij Salikin karya Ibnul Qoyyim al-Jauziyah)
Terimalah kebenaran dari siapapun, karena kemuliaan itu bukan pada egoisme, bukan pada kesombongan, bahkan bukan pada harta, bukan pada kekuasaan, bukan pada popularitas, bahkan bukan pada ilmu secara konten semata. Kemuliaan, ketinggian lahir pada ketawadhuan.

Abdullah Bin Mubarak mengatakan:
“Induk ketawadhuan adalah engkau merendahkan hatimu dihadapan orang yang lebih rendah darimu secara dunia. Sehingga engkau mengajari dia atau memberikan pesan bahwa duniamu tidak ada keutamaan apapun terhadap dirinya. Dan engkau angkat dirimu dihadapan orang yang dunianya lebih tinggi dari kamu Sehingga engkau memberikan pesan bahwa dunianya tidak ada artinya dimatamu.”


Source : Menuju Ketawadhuan
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ditulis
Ayu Karmasiwi
Tangerang Selatan, 7 Februari 2020