Sabtu, 15 Februari 2020

(Resume Kajian) Menuju Ketawadhuan #2 -Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri

Kajian Kitab : Tadzkiratus Saami Wal Mutakallim Fii Adabil’Alim Wal Muta’alim
Masjid Nurul Iman – Blok M Square
Oleh : Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri

Bismillah, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Imam Syafi’i rahimahullahu ta’ala mengatakan:
“Tidak ada seorang pun yang menuntut ilmu hanya bermodalkan kekayaan dia, kekuasaan dia, dan kemuliaan jiwanya, gengsinya, lalu dia sukses dalam dunia ilmu. Namun, orang yang menuntut ilmu dengan menghinakan dirinya, lalu dengan kesempitan hidup, lalu dengan berkhidmat kepada ilmu dan ahli ilmu, dan tawadhu (kerendahan hati), maka dia yang akan sukses”

Dunia ilmu adalah dunia kerendahan, dunia ketawadhuan.
Imam al-Ashma’i rahimahullahu ta’ala mengatakan:
“Barangsiapa yang tidak tahan untuk menghinakan dirinya didunia ilmu, merendahkan hatinya di dunia ilmu, walaupun sejenak. Maka, silahkan menikmati hinanya kebodohan selama-lamanya”

Jadi, jika kita tidak mau sabar untuk merasa diri kecil, merasa diri kerdil dihadapan ilmu atau dihadapan ahli ilmu sebentar saja, maka silahkan menikmati pahitnya atau hinanya kebodohan selama-lamanya.

Ahli ilmu ahli ilmu kita yang kita lihat mereka dimuliakan di dunia, dihormati oleh orang, dimuliakan oleh murid-muridnya itu bisa dikatakan semua pernah merasakan hinanya belajar. Itulah sunatullah yang harus dijalani. Tawadhu adalah sebuah keharusan didunia ilmu.

Imam Abdulah bin Mu’taz rahimahullahu ta’ala mengatakan:
“Orang yang tawadhu ketika belajar, ilmu merekalah yang paling banyak”

Lalu bagaimana cara agar kita mendapatkan ketawadhuan dan ilmu kita melahirkan kerendahan


Mengetahui bahwa kunci kesuksesan didunia ilmu salah satunya adalah dengan selalu berusaha untuk tetap tawadhu (baik tawadhu kepada Allah maupun tawadhu kepada manusia)

Dengan meyakini kemuliaan, ketinggian, dan keutamaan itu justru ada pada ketawadhuan. Sebagaimana  Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu karena Allah, kecuali Allah akan angkat derajatnya”

Blank spot kita, ketika kita melakukan sebuah kesombongan, kita berfikir bahwa dengan sombonglah diri kita akan mulia, dengan sombonglah diri kita akan dianggap, dengan sombonglah diri kita akan diakui. Padahal itu keliru, justru dengan tawadhu kita akan diangkat oleh Allah. Dan sebaliknya kesombonganlah yang akan menghempaskan kita.

Kesombongan, meremehkan orang, merendahkan orang akan menjatuhkan diri kita, menolak kebenaran akan mencoreng diri kita, dan dengan kita menerima kebenaran justru akan terus mengangkat derajat kita.

Allah berfirman dalam Al-quran :
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan dia tidaklah berbicara dari dorongan hawa nafsunya, akan tetapi ucapannya tiada lain adalah wahyu yang disampaikan kepadanya.” 
(QS. An Najm: 3-4).

Salah satu yang diucapkan dan disabdakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah “Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu karena Allah, kecuali Allah akan angkat derajatnya” ini sabda nabi oleh karena itu berarti ini wahyu dari Allah. Dan wahyu tidak pernah salah.

Meyakini bahwa kemuliaan, ketinggian itu ada pada ketawadhuan bukan pada kesombongan dan keangkuhan.

Bahwa tawadhu adalah karakter yang tidak bisa dipisahkan dengan generasi terbaik

Kalau kita ingin sukses disebuah bidang, maka belajarlah  dari yang terbaik. Karena yang terbaik akan memberikan hal yang tidak pernah kita dapatkan dari pihak-pihak lain. Dan ketika kita bicara agama, yang terbaik adalah para sahabat, lalu tabi’in, lalu tabi’ut tabi’in, sebagaimana Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم
“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3651, dan Muslim, no. 2533)

Dan mereka punya karakter yang tidak terpisahkan dari diri-diri mereka, yaitu tawadhu

Allah berfirman dalam Al-quran :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu.”
(QS.Asy-Syuara: 215)

Perintah tawadhu ini benar-benar diamalkan dan dipraktikan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah meremehkan orang, beliau tidak pernah merendahkan orang, dan beliau selalu menerima kebenaran, beliau selalu bersikap tidak ingin menonjolkan diri, tidak ingin meninggikan diri.

Dalam hadits yang dikeluarkan Imam Abu Daud, dari Abu Dzar dan dari Abu Hurairah sahabat yang mulia ini menyatakan:
“Nabi  Shalallahi ‘alaihi wa sallam jika duduk dengan sahabatnya dalam sebuah majelis, lalu datang orang asing (orang yang belum pernah bertemu Rasulullah) yang ingin bertemu dengan beliau pada saat itu, orang tersebut sulit menemukan yang mana Rasulullah, sampai orang asing tersebut bertanya yang mana Rasulullah kepada orang-orang sekitar. Karena kejadian tersebut, maka akhirnya kami para sahabat, meminta kepada Rasulullah agar kami dapat membuatkan tempat duduk khusus untuk beliau, sehingga jika datang orang asing, ia bisa lebih mudah tau keberadaan Rasulullah,”

Penampilan dan sikap Rasulullah, beliau posisikan sama dengan yang lain. Itulah bentuk kerendahan Rasulullah.

Dalam contoh yang lain Hadits Riwayat Imam Ahmad, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai manusia, kalian harus bertakwa kepada Allah dan jangan sampai syaithan menggoda kalian. Dan aku adalah Muhammad anaknya Abdullah, aku adalah hamba Allah dan Rasul Allah. Aku tidak menyukai jika kalian mengangkat diriku diatas kedudukan yang Allah berikan kepada diriku”

Itulah ketawadhuan Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga kita ketahui bersama bahwa bagaimana Nabi kembali kepada kebenaran dan tidak pernah menolak kebenaran. Bahkan, ketika Allah Subhanahu wa ta’ala meluruskan sikap beliau yang dirasa kurang tepat, sikap beliau menerima teguran tersebut.

Kalau kita mengaku mengikuti sunnah Nabi, ini adalah salah satu sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan ini salah satu hal-hal yang menjadi pondasi sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah berfirman dalam Al-quran:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Qs. al-Hujurat: 1)

Kisah Tawadhu Sahabat

Tawadhu tidak bisa dipisahkan dengan sahabat, dan sahabat tidak bisa dipisahkan dengan sikap tawadhu. Bahkan, hal ini nampak gamblang dan diakui oleh kawan maupun lawan. Artinya, lawan-lawan dan musuh-musuh para sahabat semua mengerti, semua tau dan semua mengakui bahwa sahabat Nabi adalah manusia-manusia yang tawadhu.

Hadits Riwayat Bukhari dikisahkan:

Abu sufyan berbicara dengan Heraclius (abu sufyan pada saat itu belum masuk kedalam agama islam). Lalu ada salah satu pertanyaan dari Heraclius untuk Abu Sufyan “Saya ingin bertanya kepada engkau wahai abu sufyan, pengikut Rasulullah itu Ashraf-nya manusia atau Dhuafa-nya manusia?” Lalu abu sufyan mengatakan “Pengikutnya adalah orang-orang Dhuafa dari kita” , Heraclius menjawab “Dan itulah karakter pengikutnya para Nabi”.

Makna Ashraf dan Dhuafa yang dikedepankan oleh Al-Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Ashraf bukan diartikan para tokoh atau orang kaya tapi diartikan sebagai ahli takabur atau orang-orang yang sombong. Sehingga Dhuafa bukan diartikan orang-orang miskin, tapi diartikan sebagai orang-orang yang tawadhu. Sehingga, berangkat dari pandangan ini, Abu Bakar, Umar dan Ustman tidak masuk ke kategori Al-Ashraf, karena mereka tawadhu dan rendah hati.

Oleh karena itu, Abu Sufyan yang pada detik itu musuh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat (sekilas info bahwa Abu Sufyan adalah pemimpin pasukan Quraish ketika menyerang kota madinah diperang uhud) mengakui bahwa pengikut Nabi Muhammad bukan orang-orang sombong, bukan orang-orang yang suka menolak nasehat, bukan orang-orang yang suka menolak ayat, bukan orang-orang yang suka menolak hadits, bukan orang-orang yang suka meremehkan manusia, bukan orang-orang yang suka menjatuhkan manusia, bukan orang-orang yang suka mengkerdilkan dan menghina manusia.

Seseorang yang memimpin pasukan musrik Quraish yang menyerang Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat diperang Uhud. Beliau dengan jujur menyampaikan testimoni bahwa pengikut Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bukan orang-orang sombong.

Al-Imam Ibnu Jauzi pernah membawakan riwayat bahwa Abu Bakar As-Sidiq Radhiallahu ‘anhu, beliau sering membantu memerah susu kambing disebuah kampung sebelum beliau naik sebagai Khalifah. Lalu saat beliau di bai’at menjadi Khalifah ada seorang wanita dikampung tersebut berkata “Sekarang Abu Bakar tidak mungkin lagi mau memerah susu dari kambing-kambing kita”. Dan ucapan wanita itu didengar oleh Abu Bakar As-Sidiq Radhiallahuanhu, lalu beliau berkata “Saya akan tetap memerah susu dari kambing-kambing kalian. Dan saya berharap agar Allah tidak merubah apa yang sudah saya lakukan selama ini”.

Kalau kisah diatas  adalah tentang Abu Bakar As-Sidiq lalu bagaimana dengan Umar Bin Khattab ?

Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika membawa tempat air. Pada saat itu Urwah bin Zubair berkata kepad beliau “Wahai amirul mu’minin, engkau tidak cocok membawa barang seperti itu”. Lalu Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu  mengatakan “Tadi datang beberapa utusan, dan ketika utusan-utusan itu datang kepadaku semua apa yang aku katakan kepada mereka, mereka selalu siap dan taat. Lalu masuklah virus kesombongan pada diriku. Maka aku ingin memecahkan dan menghilangkan kesombongan itu dengan cara seperti ini”
Intinya adalah melakukan sebuah hal, yang apabila dilakukan sesuatu tersebut anda merasa bukan siapa-siapa. Pentingnya terapi ketawadhuan, keluar dari zona aman dari linngkungan yang mengangkat diri kita yang membuat hati kita sakit, begitu hati kita sakit kita sombong.

Terapi ini dilakukan juga oleh Abdullah bin Salam, yang memikul kayu bakar jika ke pasar. Lalu ada yang bertanya kepada beliau “Wahai Abdullah bin Salam, kenapa engkau membawa-bawa kayu bakar? Allah sudah memberikan berbagai macam kenikmatan sehingga engkau tidak perlu kesulitan membawa kayu bakar itu jike pergi ke pasar.” Dan Abdullah bin Salam mejawab “Saya melakukan ini untuk menghilangkan kesombongan.” Karena aku mendengar Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji debu”
 (HR. Muslim) sebagaimana kisah ini termaktub dalam Kitab az-Zuhd karya Imam Ahmad.

Orang tawadhu berani mengatakan kemarin saya keliru, minggu lalu saya keliru, bulan lalu itu kesalahan saya. Adapun cari alasan itu bukan orang-orang tawadhu. Dan inilah yang menyebabkan musuh seperti Abu Sufyan pada saat itu, mengatakan bahwa “Walaupun saya berperang dengan mereka, walaupun saya tidak suka dengan mereka, tapi pengikut Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mereka bukanlah orang-orang Sombong”
Lalu pertanyaanya, Apakah kita bisa juga menampilkan profil itu dihadapan orang yang tidak suka dengan kita jika mereka berkata jujur?


Source : Spotify Menuju Ketawadhuan #2
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ditulis
Ayu Karmasiwi
Tangerang Selatan, 16 Februari 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar