Kajian Kitab : Tadzkiratus Saami Wal Mutakallim Fii Adabil’Alim Wal Muta’alim
Masjid Nurul Iman – Blok M Square
Oleh : Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri
Bismillah, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Imam Syafi’i rahimahullahu ta’ala mengatakan:
“Tidak ada seorang pun yang menuntut ilmu hanya bermodalkan
kekayaan dia, kekuasaan dia, dan kemuliaan jiwanya, gengsinya, lalu dia sukses
dalam dunia ilmu. Namun, orang yang menuntut ilmu dengan menghinakan dirinya,
lalu dengan kesempitan hidup, lalu dengan berkhidmat kepada ilmu dan ahli ilmu,
dan tawadhu (kerendahan hati), maka dia yang akan sukses”
Dunia ilmu
adalah dunia kerendahan, dunia ketawadhuan.
Imam al-Ashma’i rahimahullahu ta’ala
mengatakan:
“Barangsiapa
yang tidak tahan untuk menghinakan dirinya didunia ilmu, merendahkan hatinya di
dunia ilmu, walaupun sejenak. Maka, silahkan menikmati hinanya kebodohan
selama-lamanya”
Jadi, jika
kita tidak mau sabar untuk merasa diri kecil, merasa diri kerdil dihadapan ilmu
atau dihadapan ahli ilmu sebentar saja, maka silahkan menikmati pahitnya atau
hinanya kebodohan selama-lamanya.
Ahli ilmu
ahli ilmu kita yang kita lihat mereka dimuliakan di dunia, dihormati oleh
orang, dimuliakan oleh murid-muridnya itu bisa dikatakan semua pernah merasakan
hinanya belajar. Itulah sunatullah yang harus dijalani. Tawadhu adalah sebuah keharusan didunia ilmu.
Imam
Abdulah bin Mu’taz rahimahullahu ta’ala mengatakan:
“Orang yang
tawadhu ketika belajar, ilmu merekalah yang paling banyak”
Lalu bagaimana cara agar kita mendapatkan ketawadhuan dan
ilmu kita melahirkan kerendahan
Mengetahui bahwa kunci kesuksesan didunia ilmu salah satunya adalah dengan selalu berusaha untuk tetap tawadhu (baik tawadhu kepada Allah maupun tawadhu kepada manusia)
Dengan meyakini kemuliaan, ketinggian, dan keutamaan itu justru ada pada
ketawadhuan. Sebagaimana Nabi Shalallahu’alaihi
wa sallam bersabda:
“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu karena Allah, kecuali Allah akan
angkat derajatnya”
Blank spot kita, ketika kita melakukan sebuah kesombongan, kita berfikir
bahwa dengan sombonglah diri kita akan mulia, dengan sombonglah diri kita akan
dianggap, dengan sombonglah diri kita akan diakui. Padahal itu keliru, justru
dengan tawadhu kita akan diangkat oleh Allah. Dan sebaliknya kesombonganlah
yang akan menghempaskan kita.
Kesombongan, meremehkan orang, merendahkan orang akan menjatuhkan diri
kita, menolak kebenaran akan mencoreng diri kita, dan dengan kita menerima
kebenaran justru akan terus mengangkat derajat kita.
Allah berfirman dalam Al-quran :
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا
وَحْيٌ يُوحَى
“Dan
dia tidaklah berbicara dari dorongan hawa nafsunya, akan tetapi ucapannya tiada
lain adalah wahyu yang disampaikan kepadanya.”
(QS. An Najm: 3-4).
Salah satu yang diucapkan dan
disabdakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah “Dan tidaklah seseorang
bersikap tawadhu karena Allah, kecuali Allah akan angkat derajatnya” ini sabda
nabi oleh karena itu berarti ini wahyu dari Allah. Dan wahyu tidak pernah
salah.
Meyakini bahwa kemuliaan, ketinggian itu ada pada ketawadhuan bukan pada kesombongan dan keangkuhan.
Bahwa tawadhu adalah karakter yang tidak bisa dipisahkan dengan generasi terbaik
Kalau
kita ingin sukses disebuah bidang, maka belajarlah dari yang terbaik. Karena yang terbaik akan
memberikan hal yang tidak pernah kita dapatkan dari pihak-pihak lain. Dan ketika
kita bicara agama, yang terbaik adalah para sahabat, lalu tabi’in, lalu tabi’ut
tabi’in, sebagaimana Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم
“Sebaik-baik manusia
ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi
berikutnya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh
al-Bukhari, no. 3651, dan Muslim, no. 2533)
Dan mereka punya karakter
yang tidak terpisahkan dari diri-diri mereka, yaitu tawadhu
Allah
berfirman dalam Al-quran :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ
اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap
orang-orang yang beriman yang mengikutimu.”
(QS.Asy-Syuara: 215)
Perintah
tawadhu ini benar-benar diamalkan dan dipraktikan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau tidak pernah meremehkan orang, beliau tidak pernah merendahkan
orang, dan beliau selalu menerima kebenaran, beliau selalu bersikap tidak ingin
menonjolkan diri, tidak ingin meninggikan diri.
Dalam
hadits yang dikeluarkan Imam Abu Daud, dari Abu Dzar dan dari Abu Hurairah
sahabat yang mulia ini menyatakan:
“Nabi Shalallahi ‘alaihi wa sallam jika duduk
dengan sahabatnya dalam sebuah majelis, lalu datang orang asing (orang yang
belum pernah bertemu Rasulullah) yang ingin bertemu dengan beliau pada saat itu,
orang tersebut sulit menemukan yang mana Rasulullah, sampai orang asing tersebut
bertanya yang mana Rasulullah kepada orang-orang sekitar. Karena kejadian
tersebut, maka akhirnya kami para sahabat, meminta kepada Rasulullah agar kami
dapat membuatkan tempat duduk khusus untuk beliau, sehingga jika datang orang
asing, ia bisa lebih mudah tau keberadaan Rasulullah,”
Penampilan
dan sikap Rasulullah, beliau posisikan sama dengan yang lain. Itulah bentuk
kerendahan Rasulullah.
Dalam
contoh yang lain Hadits Riwayat Imam Ahmad, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Wahai
manusia, kalian harus bertakwa kepada Allah dan jangan sampai syaithan menggoda
kalian. Dan aku adalah Muhammad anaknya Abdullah, aku adalah hamba Allah dan
Rasul Allah. Aku tidak menyukai jika kalian mengangkat diriku diatas kedudukan
yang Allah berikan kepada diriku”
Itulah
ketawadhuan Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga kita
ketahui bersama bahwa bagaimana Nabi kembali kepada kebenaran dan tidak pernah
menolak kebenaran. Bahkan, ketika Allah Subhanahu wa ta’ala meluruskan sikap
beliau yang dirasa kurang tepat, sikap beliau menerima teguran tersebut.
Kalau kita mengaku mengikuti sunnah
Nabi, ini adalah salah satu sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan ini
salah satu hal-hal yang menjadi pondasi sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah berfirman
dalam Al-quran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
(Qs.
al-Hujurat: 1)
Kisah Tawadhu Sahabat
Tawadhu
tidak bisa dipisahkan dengan sahabat, dan sahabat tidak bisa dipisahkan dengan
sikap tawadhu. Bahkan, hal ini nampak gamblang dan diakui oleh kawan maupun
lawan. Artinya, lawan-lawan dan musuh-musuh para sahabat semua mengerti, semua
tau dan semua mengakui bahwa sahabat Nabi adalah manusia-manusia yang tawadhu.
Hadits Riwayat
Bukhari dikisahkan:
Abu
sufyan berbicara dengan Heraclius (abu sufyan pada saat itu belum masuk kedalam
agama islam). Lalu ada salah satu pertanyaan dari Heraclius untuk Abu Sufyan “Saya
ingin bertanya kepada engkau wahai abu sufyan, pengikut Rasulullah itu
Ashraf-nya manusia atau Dhuafa-nya manusia?” Lalu abu sufyan mengatakan “Pengikutnya
adalah orang-orang Dhuafa dari kita” , Heraclius menjawab “Dan itulah karakter
pengikutnya para Nabi”.
Makna
Ashraf dan Dhuafa yang dikedepankan oleh Al-Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari,
Ashraf bukan diartikan para tokoh atau orang kaya tapi diartikan sebagai ahli
takabur atau orang-orang yang sombong. Sehingga Dhuafa bukan diartikan
orang-orang miskin, tapi diartikan sebagai orang-orang yang tawadhu. Sehingga,
berangkat dari pandangan ini, Abu Bakar, Umar dan Ustman tidak masuk ke
kategori Al-Ashraf, karena mereka tawadhu dan rendah hati.
Oleh
karena itu, Abu Sufyan yang pada detik itu musuh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat (sekilas info bahwa Abu Sufyan adalah pemimpin pasukan
Quraish ketika menyerang kota madinah diperang uhud) mengakui bahwa pengikut
Nabi Muhammad bukan orang-orang sombong, bukan orang-orang yang suka menolak
nasehat, bukan orang-orang yang suka menolak ayat, bukan orang-orang yang suka
menolak hadits, bukan orang-orang yang suka meremehkan manusia, bukan
orang-orang yang suka menjatuhkan manusia, bukan orang-orang yang suka
mengkerdilkan dan menghina manusia.
Seseorang
yang memimpin pasukan musrik Quraish yang menyerang Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat diperang Uhud. Beliau dengan jujur menyampaikan testimoni
bahwa pengikut Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bukan orang-orang
sombong.
Al-Imam
Ibnu Jauzi pernah membawakan riwayat bahwa Abu Bakar As-Sidiq Radhiallahu ‘anhu,
beliau sering membantu memerah susu kambing disebuah kampung sebelum beliau
naik sebagai Khalifah. Lalu saat beliau di bai’at menjadi Khalifah ada seorang
wanita dikampung tersebut berkata “Sekarang Abu Bakar tidak mungkin lagi mau
memerah susu dari kambing-kambing kita”. Dan ucapan wanita itu didengar oleh
Abu Bakar As-Sidiq Radhiallahuanhu, lalu beliau berkata “Saya akan tetap
memerah susu dari kambing-kambing kalian. Dan saya berharap agar Allah tidak
merubah apa yang sudah saya lakukan selama ini”.
Kalau
kisah diatas adalah tentang Abu Bakar
As-Sidiq lalu bagaimana dengan Umar Bin Khattab ?
Umar
bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu pernah suatu
ketika membawa tempat air. Pada saat itu Urwah bin Zubair berkata kepad
beliau “Wahai amirul mu’minin, engkau tidak cocok membawa barang seperti itu”.
Lalu Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu mengatakan “Tadi
datang beberapa utusan, dan ketika utusan-utusan itu datang kepadaku semua apa
yang aku katakan kepada mereka, mereka selalu siap dan taat. Lalu masuklah
virus kesombongan pada diriku. Maka aku ingin memecahkan dan menghilangkan
kesombongan itu dengan cara seperti ini”
Intinya
adalah melakukan sebuah hal, yang apabila dilakukan sesuatu tersebut anda
merasa bukan siapa-siapa. Pentingnya terapi ketawadhuan, keluar dari
zona aman dari linngkungan yang mengangkat diri kita yang membuat hati kita
sakit, begitu hati kita sakit kita sombong.
Terapi
ini dilakukan juga oleh Abdullah bin Salam, yang memikul kayu bakar jika ke pasar.
Lalu ada yang bertanya kepada beliau “Wahai Abdullah bin Salam, kenapa engkau
membawa-bawa kayu bakar? Allah sudah memberikan berbagai macam kenikmatan
sehingga engkau tidak perlu kesulitan membawa kayu bakar itu jike pergi ke
pasar.” Dan Abdullah bin Salam mejawab “Saya melakukan ini untuk menghilangkan
kesombongan.” Karena aku mendengar Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk
surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji debu”
(HR. Muslim) sebagaimana kisah ini
termaktub dalam Kitab az-Zuhd karya Imam Ahmad.
Orang tawadhu berani
mengatakan kemarin saya keliru, minggu lalu saya keliru, bulan lalu itu
kesalahan saya. Adapun cari alasan itu bukan orang-orang tawadhu. Dan inilah
yang menyebabkan musuh seperti Abu Sufyan pada saat itu, mengatakan bahwa “Walaupun
saya berperang dengan mereka, walaupun saya tidak suka dengan mereka, tapi
pengikut Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mereka bukanlah orang-orang Sombong”
Lalu pertanyaanya, Apakah kita bisa juga menampilkan profil itu dihadapan orang yang tidak suka dengan kita jika mereka berkata jujur?
Ditulis
Ayu Karmasiwi
Tangerang Selatan, 16 Februari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar